U3 = UNIT TIGA
Aspirasi Masyarakat dalam Seni
Unit 3 (U3) Pasar Besar Kota Batu berbeda dengan unit
yang lain. Di Unit 3 ini menurut saya pasar yang tidak sekedar
sebagai tempat jual beli. Tapi bagi pengunjung (rata-rata menengah ke
bawah) selain membeli sesuatu, area ini juga berfungsi sebagai tempat
untuk jalan-jalan, bersantai atau mencari hiburan, terutama pria. Di
unit 3 ini orang bisa sekedar melihat barang loakan. Menonton TV
bekas yang dijual. Nimbrung nonton goyangan seronok penyanyi dangdut
yang diputar penjual vcd. Membeli bunga untuk upacara ritual. Membaca
buku bekas di loakan buku bekas. Membeli cincin emas atau palsu.
Mencari alat-alat pertanian dan pertukangan. Tukar tambah HP lengkap
dengan aksesoris. Ngobrol santai di warung sempit. Semua ada di sini
! Sebuah gambaran pasar yang komplit, tentang perputaran uang seret
dan yang mengalir lancar (Watoni, 2013).
U3 (Unit 3/Pasar Rombeng) merupakan salah satu unit di Pasar Besar
Kota Batu, yang hanya khusus menjual barang-barang bekas, atau bisa
disebut sebagai pasar loak. Namun, sisi yang ingin diangkat oleh
Watoni yakni posisi para pedagang di U3 yang masih bertahan dalam
gencaran arus modernisasi yang juga didukung dengan posisi kota Batu
sebagai Kota Pariwisata yang semakin mamajukan sektor ke-modern-an
yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, para pedagang yang berada di
U3 khususnya masih tetap eksis dan memiliki pelanggan tetap. Dari
keseluruhan toko di U3 hanya sekitar 55% yang masih membuka tokonya.
Hal ini dikarenakan ketatnya persaingan di dalam pasar, dimana banyak
para konsumen menginkan barang kekinian-modern, sedangkan mayoritas
penjual di U3 menjual barang bekas/loak, atau barang-barang yang bisa
dikatakan out of date, sehinga banyak para pedagang di U3 ini
banyak yang gulung tikar. Selain itu, pelukis juga ingin menunjukan
eksistensi U3 dalam masa modern ini. Namun, keberadaan U3 yang tetap
konsisten dalam memperdagangkan barang-barang bekas (out of date,
second) jelas tergeser dengan keberdaan pasar modern yang semakin
marak bermunculan. Dalam menyelami kehidupan dari objek yang akan ia
angkat ke dalam lukisan, selama 3 tahun ia mencoba terjun langsung ke
lapangan dan mengikuti arus yang berada di U3. Hingga akhirnya ia
menemukan nilai-nilai eksotisme di U3 dan ia abadikan dalam karyanya
dan dipamerkan pada 8-15 Juli 2013 lalu.
Pelukis juga ingin menunjukan sisi lain dari U3 yang terlanjur
medapatkan streotipe negatif pada masyarakat karena banyak fenomena
pancamakara (judi, togel, tjap tjiki, prostitusi, miras)
terjadi di U3 ini. Namun, terlepas dari kegiatan pancamakara yang ada
di U3, pelukis ingin menunjukan adanya ‘wajah-wajah’ lain di U3
ini, seperti yang ditunjukan oleh kedua lukisan di bawah ini. Piliang
(dalam Walker,2010) mengatakan bahwa dunia desain ingin menjelaskan
tentang benda yang sekaligus menjelaskan keadaan kemanusian itu
sendiri, begitu juga dalam seni yang mampu menunjukan sisi lain yang
ingin ditunjukan oleh seorang seniman, terlepas dari unsur
estetikanya, yakni mengenai kehidupan sosial budaya yang melingkupi
seniman(objek dari si seniman untuk ber-seni). Dalam tulisan
kali ini, saya akan membahas tentang perbandingan dua lukisan karya
Watoni dalam pameran U3 (Unit 3/Pasar Rombeng) dan melihat beberapa
fenomena (baik sosial dan budaya) yang muncul di U3.
Yang pertama adalah karyanya yang berjudul “Legenda Kaset-2013”
(120 x 150 cm/125 x 107 (panel)). Pada lukisan ini, ia melukiskan
sosok orang yang menjual kaset tape lama yang bernama Aji. Aji
merupakan orang pertama yang menjual kaset tape di Batu pada
tahun 1989. Aji (50) sendiri merupakan keturunan dari Dayak-Ngaju
sehingga ia memiliki tampang khas orang dayak, dan memiliki kulit
yang kuning bersih, mungkin inilah yang membedakanya dari pedagang U3
yang lain. Aji membuka lapaknya pada jam 8 pagi hingga jam 3 sore,
tepatnya di tangga pintu masuk sebelah bawah U3. Yang saya ingat dari
Aji, selain penampilan fisiknya adalah, kebiasaanya yang setiap hari
menyetel musik dangdut angkatan 80an seperti Elvi Sukaesih, Roma
Irama, Rita Sugiarto dll. Selain sebagai penjual ia juga merupakan
kolektor, sekaligus pengepul kaset tape. Ia sendiri
menjuluki lapak daganganya sebagai “Gudang Kaset Tape” di
Malang. Dalam koleksinya ia menyimpan kaset tape original
tidak hanya dari dalam negri saja, namun juga dari luar negri.
Kaset Tape muncul pada tahun 1970-an sebagai bentuk
dari penyempurnaan piringan hitam, dan keuntungan dari kaset tape
sendiri adalah dapat dibawa ke mana-mana. Aji menjual kaset tape
ini mulai dari tahun 70-an hingga 2000-an, mulai dari
musik klasik, jazz, rock, metal, disco, electric, R n’ B,
pop, hingga musik khas tradisi Indonesia, seperti dangdut
(dangdut, koplo, remix), keroncong, lagu-lagu daerah (tari), rekaman
Kartolo hingga Warkop, namun yang menyita perhatian saya adalah, ia
juga memiliki rekaman pidato Bung Karno yang juga ada di lapak
daganganya. Semua kaset tape yang ada di gudangnya hanya
dijual sebesar @ Rp 5.000 dari berbagai genre lagu, hingga tahun
pembuatan, baik itu langka atau tidak.
Alasan ia menjual kaset tape adalah kecintaanya terhadap musik
yang sampai sekarang menjadi pedoman bagi dirinya. Selain itu, alasan
lainya adalah karena ia mempercayai bahwa hingga saat ini masih ada
beberapa orang yang masih membutuhkan kaset tape ini, sehingga
sampai saat ini, ia masih tetap bertahan untuk menjual kaset tape,
dan kepercayaanya pun terbukti, langanan setianyapun juga
bermacam-macam, muali dari belantik (penjual/pengembala sapi),
mahasiswa, politikus, hingga kolektor kaset tape yang berasal
dari Eropa (Belanda).
Yang kedua adalah lukisan Watoni yang berjudul “Head of Copy-2013”
(170 x 150 cm). Dalam lukisannya yang kedua ini, ia melukiskan sosok
penjual kaset CD di U3. Berbeda dengan Aji yang menjual kaset tape
dan tergolong jadul/kuno/out of date Eko Win
menjual kaset CD yang berkesan millennium dan modern pastinya.
Dilihat dari bentuk fisiknya saja, kita sudah mengetahu perbedaanya
yang sangat jauh. Eko Win menjual kaset CD seperti musik dangdut
(terutama koplo), keroncongan, lagu khas Malaysia, Lagu India (ost
Film), lagu band-band Indonesia, Film kartun anak-anak dari cerita
Barat (Spongebob, Teletubies, Dora, Shaun the Sheep, Barbie, Disney
dll) hingga yang tradisional (Timun Mas, si Kancil, Bawang
Merah-Putih dll) dan film-film Indonesia. Yang menjadi pembeda di
sini adalah, ia juga menjual rekaman dari pertunjukan kesenian Jawa
Timur seperti Bantengan, Jaranan, dan Reog Ponorogo yang saat ini
digandrungi oleh masyarakat Batu.
Eko Win merupakan seorang Sastrawan Batu yang bisa dikatakan “sedang
terjebak” di dalam keheningan U3. Dalam dunia sastra ia akrab di
kenal sebagai Eko Winarto. Eko Win merupakan seorang sastrawan
angkatan 70’-80’an dan sering menciptakan cerpen bagi
anak-anak dan puisi. Karyanya yang cukup fenomenal adalah puisinya
yang berjudul “KIOS” yang secara garis besar menceritakan
bagaimana perjalanan seorang penjual rokok gendong hingga
mendapatkan sebuah kios kecil (seperti asongan namun lebih besar dan
terbuat dari seng, dan sering ditemukan di pingir jalan). Selain itu,
puisi yang sangat berkesan bagi dirinya sendiri adalah sebuah puisi
yang berjudul “Aku”, yang menceritakan refleksi dari perjalanan
rohani dan pergolakan religius dalam kehidupanya, hingga ia
menenmukan nilai religius yang sampai saat ini ia yakini. Hingga
setelah puisi “Aku” ini, Eko Win sudah tidak pernah menyentuh
pena lagi, dan memutuskan untuk istirahat dari dunia sastra. Yang
cukup disayangkan, Eko Win tidak memiliki salinan naskah dari
karya-karyanya, hampir semuanya sudah hilang. Selain menjadi
sastrawan, ia juga memiliki jasa rekaman dan menyutradai beberapa
pegelaran kesenian daerah seperti kesenian Bantengan, Reog, dan Jaran
Kepang yang kemudian ia jadikan menjadi CD/VCD dan kemudian dijual.
Apabila kita membicarakan Pasar, pasti kita akan menemukan berbagai
macam fenomena budaya yang sangat kompleks baik yang menyangkut
kegiatan ekonomi hingga terlepas dari perputaran ekonomi di pasar
seperti yang akan saya bahas kali ini. Pasar sendiri merupakan sebuah
tempat para pedagang untuk besaing dalam menjajakan daganganya.
Sehingga dalam hal ini pasti terdapat sifat kompetitif pada setiap
pedagang dalam U3 dengan para pedagang di pasar modern. Dengan
melihat perkembangan zaman yang ‘modern’ pasti pasar juga akan
mengikuti permintaan konsumen sesuai dengan perkembangan waktu yang
terus berjalan. Namun, nuansa tradisional dan modern di U3 berjalan
berinringan. Inilah yang menjadi nilai plus dari keberadaan U3.
Kegigihan para pedagang yag masih mengusung nilai-nilai tradisional
menjadi alasan mengapa pasar ini masih tetap berdiri dalam gencatan
arus modern dalam perputaran pasar.
Benda seni (lukisan) dalam hal ini saya maknai sebagai sarana
komunikasi yang menghubungkan antara seniman dan publik, dimana si
seniman ingin menunjukan realita sosial yang melingkupinya.
Begitupula yang ingin dilakukan oleh Watoni, melalui lukisan yang ia
ciptakan, ia ingin menunjukan sisi lain yang terselubung dan jarang
diketahui oleh masyarakat tentang kehidupan di U3. Lukisan dalam hal
ini saya ibaratkan sebagai sebuah “forma” yang ingin menunjukan
temporalitas keberadaan U3 yang masih memiliki nilai eksistensi saat
ini. Melalui berbagai macam potret berbagai profesi di U3, tubuh
(bentuk fisik dari objek lukisan Watoni yang melingkupi mimic, tubuh
dan ekspresi) berfungsi sebagai temporalitas waktu yang harus
dihayati, dan sebagai penunjuk waktu.
Pastinya, setiap individu di dunia ini memiliki perbedaan perspeksi
dalam memandang suatu objek, terutama dalam seni (Lukis) yang
memiliki pemaknaan yang bebas. Dalam melihat fenomena di dalam U3,
saya menggunakan pendekatan estetika yang menekankan aspek seni dan
desain dalam melihat daya tarik eksentrik dalam sebuah lukisan dengan
menggunakan tiga perspeksi salah satunya simbol yang ingin menunjukan
tentang isi yang terkandung dalam sebuah lukisan (Walker, 2010).
Simbol yang sangat menonjol dalam kedua lukisan ini adalah profesi
dari masing-masing objek yang menjual musik dalam bentuk yang berbeda
yakni kaset tape dan kaset CD/VCD, yang masing-masing benda
menunjukan perjalanan waktu antara yang ‘baru’ yang ditunjukan
oleh kaset CD/VCD dan yang ‘lama’ dengan ditunjukan oleh kaset
tape.
Geertz (1983) mengatakan bahwa seni merupakan bagian dari sistem
budaya, dimana seni diberikan, diletakan, dan dibiasakan oleh
masyarakat sebagai pedoman interaksi. Dalam hal ini kajian
antropologi digunakan untuk melakukan transkip atas fenomena
masyarakat yang berkaitan dengan seni beserta dinamikanya. Dinamika
budaya yang tertuang dalam lukisan Watoni menunjukan adanya
pergeseran dari tradisional ke modern dalam sistem pasar. Pada
dasarnya, pasar akan selalu menyediakan apapun kebutuhan konsumen,
dengan berjalanya waktu dan semakin meningkatnya kebutuhan manusia,
pasar akan selalu mengikuti arus ini, sehingga sesuatu yang baru akan
terus bermunculan di dalam pasar. Berbeda dengan apa yang terjadi di
U3, tidak seperti pasar-pasar yang lain U3 selalu konsisten dengan
sisi ‘lama’ ‘tradisional’ dan ‘bekas’, justru yang
terjadi dalam U3 ini sisi modern dan tradisional berjalan dengan
beriringan.
Selain itu, dengan adanya keberdaan U3 menunjukan bahwa tidak
selamanya manusia akan terlena dengan suasana modern saat ini, dan
masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yang mereka bawa.
Hal ini ditunjukan oleh benda-benda yang dijual oleh para pedagang di
U3 yang menjual barang-barang mistis (patung, batu akik, pusaka,
keris), renaisens, retro, dll. Walaupun beberapa barang yang dijual
merupakan barang second use, tidak menghalangi konsumen untuk
membeli barang di U3. Hal ini dikarenakan banyak barang-barang bekas
ini dijamin keaslianya. Seperti pada pedagang arloji yang menjual
beberapa arloji asli dari Paris beserta sertifikatnya, kasat tape
original yang dimiliki oleh Aji. Walaupun second atau
baru, lama atau baru, kuno atau baru, keberadaan U3 ini
menunjukan adanya sebuah wadah bagi orang-orang yang ingin terlepas
sejenak dari lingkup kekinian/modern. Dan sebagai penunjuk pula
tentang keberadaan masayarakat yang setia dengan sisi tradisional
(minoritas) dalam kehidupan masyarakat yang modern (mayoritas).
Refrensi :
- Sunardi, ST. Vodka dan Birahi seorang Nabi . Yogyakarta: Jalasutra
- Sumardjo, Jakob. 2000. Sosiologi Seniman Indonesia. Bandung: ITB
- Walker, John A. 2010. Desain, Sejarah, Budaya. Yogjakarta: Jalasutra
Artikel
- Mundayat. Aria Arif, Djoko Pekik “ Seni Sebagai Ekspresi Kritik”, dalalm Ahimsa Putra, Heddy. 2006, Esai-Esai Antropologi . Yogjakarta